Share : | | Artikel | Film | Keluarga | Quranic Quotient Centre |                                                                                                

Selasa, 02 November 2010

408 Tahun Petani Indonesia Diperas Kapitalis (2)

Oleh: Muchsin Lubis
(Bagian Kedua)

Tapi kemegahan VOC akhirnya redup karena lupa daratan dan akhirnya bangkrut karena para direksinya korupsi. Sehingga VOC di ejek sebagai singkatan Vergaan Onder Corruptie (bangkrut karena korupsi) dan resmi ditutup 31 Desember 1799. Selanjutnya pemerintah Belanda secara resmi mengambil alih penjajahan Hindia Belanda ( Indonesia ) dari konglomerat VOC.

Di awal abad ke-19 itu, pemerintah Belanda mengalami kesulitan dana (APBN) apalagi muncul pemberontakan Pangeran Diponegoro ( 1825 sampai 1830) yang menguras banyak dana. Untuk itu, keringat petani kembali diperas habis-habisan. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menetapkan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) di mana 20 persen tanah petani wajib ditanam kopi, tebu dan nila dan wajib menyisakan waktunya bekerja untuk kepentingan Belanda.

Untuk mengelola Tanam Paksa yang hasilnya diekspor, dibentuk BUMN Nederlandsche Handel Maatschapij (NHM). NHM sampai 1870 berhasil menyumbangkan 823 juta gulden ke Negeri Belanda. Tanam Paksa yang berasal dari peluh petani Indonesia itu akhirnya membiayai 72 persen APBN Kerajaan Belanda seluruhnya!
Pola kapitalis VOC dan NHM terus berlanjut sampai ke Sumatera Timur (Tanah Deli) dengan kedatangan Jacobus van Nienhuys yang tiba Agustus 1863 naik kapal Josephine di Labuhan Deli dari Perkebunan Tempeh, Jawa Timur. Dari jejaknya menanam tembakau atas izin Sultan Deli, akhirnya Nienhuys, Cremer, Jannsen dan Clemen mendirikan perusahaan Deli Maatschapij. Investor asing lainnya akhirnya masuk ke Deli sehingga berkembang menjadi 22 perusahaan perkebunan di Deli pada 1874. Akhirnya dibentuk asosiasi perkebunan Deli Planters Veereneging (DPV) oleh Cremer yang namanya kemudian diabadikan menjadi Jalan Cremer (Jalan Balai Kota sekarang) dan patungnya di buat di depan Kantor Pos Besar Medan.

Cremer adalah lambang kapitalisme tulen penghisap darah petani. Dari tangannya lahir Koeli Ordonantie yang melahirkan hukuman Poenale Sanctie yang sangat kejam terhadap kuli kontrak yang berasal dari Jawa , China dan Keling. Sementara raja-raja Melayu mendapat hasil dari kontrak-kontrak tanah ulayat sehingga melahirkan banyak istana di Sumatera Timur. Kota Medan yang modern akhirnya dibangun untuk kepentingan kapitalisme tersebut. Semua itu disimbolkan oleh hotel pertama di Medan yang bernama De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli) yang artinya petani.

Dari sejarah pahit petani Indonesia ini dapat diambil pelajaran bahwa petani Indonesia selama ini hanya menjadi sapi perahan kaum pemodal dan kapitalis perusahaan asing. Pelajaran lainnya, potensi pertanian Indonesia sangat besar dan menjadi tiang utama negara maju sehingga menjadi penyumbang besar APBN Belanda. Tapi kenyataannya, sampai kini, petani Indonesia tetap seperti itu, bahkan lebih menyedihkan lagi, menjadi perasan kapitalis bangsa sendiri melalui perusahaan-perusahaan perkebunan.

Petani kita tak pernah diberi kesempatan untuk maju dan mandiri. Petani memang seperti disengaja agar tetap bodoh. Mereka hanya dihibur dengan bantuan-bantuan yang tidak mampu mengembangkan diri menjadi cerdas dan pintar serta mandiri dalam mengelola tanahnya. Semuanya dimanipulasi dengan program-program yang sebenarnya sangat kapitalis sehingga pendapatan mereka sangat tergantung dengan pedagang dan pasar. Petani tidak kunjung tak dapat menentukan rezekinya sendiri. Semuanya diukur oleh kaum kapitalis yang berbungkus kerakyatan.

Apapun nama istilah kapitalisme yang berakar dari liberalisme, sebenarnya intinya sama saja: memeras orang lemah dan hanya memanfaatkan manusia sebagai buruh atau kuli atau sekadar manajer yang digaji. Dari sejak kelahiran kapitalisme klasik hingga neoliberalisme di zaman globalisasi ini sebenarnya yang muncul hanya eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah.

Terbukti sampai sekarang, sudah 65 tahun merdeka, pemerintah Indonesia tak mempunyai kebijakan politik yang jelas terhadap pertanian. Akhirnya merdeka atau dijajah, nasib petani sama saja. Bagi kapitalisme dan demokrasi, yang dibutuhkan dari petani hanya keringat dan contrengannya belaka. Tidak lebih.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBERITAHUAN