Oleh: Muchsin Lubis
(Bagian Pertama)
Nasib petani Indonesia tak putus dirundung malang. Mereka dibutuhkan saat pemilihan umum, tapi ketika terpilih, mereka kembali dilupakan. Demikian seterusnya, entah sampai kapan.
Saat ini, calon presiden dan calon wakil presiden gembar-gembor dengan janji-janji ekonomi kerakyatan. Dan semua bicara tentang petani dan nelayan yang menghuni lebih dari 60 persen penduduk.
Tapi sadarkah para pemimpin atau calon pemimpin bangsa ini, sudah lebih dari 408 tahun petani kita ini habis-habisan diperas kapitalis. Terhitung sejak berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Negeri Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602. Sampai kini pun petani masih tetap dipermainkan dan diperas pedagang dan konglomerat yang notabene kapitalis. Tak heran petani kita tetap bodoh, miskin dan menjadi objek politik dan kekuasaan. Sejarah keji penjajahan kembali terulang!
Kalau mau membela petani, para calon pemimpin bangsa harus benar-benar tahu sejarah petani itu sendiri, sebagai pelajaran besar untuk memperbaiki mereka yang menjadi tulang punggung RI. Kalau hanya cuap-cuap dengan PRAGMATISME YANG DIBUNGKUS DENGAN MATERIALISME SESAAT, jangan harap nasib sebagian besar bangsa ini akan terperbaiki. Semuanya akan kembali berputar pada pola pragmatisme globalisasi pasar bebas dan kapitalisme model baru yang sekarang kerap disebut NEOLIBERALISME. Nasib petani tetap berada dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan. Indonesia akan tetap menjadi pasar konsumsi dan objek manipulasi globalisasi. Sejarah telah mencatat hal itu.
VOC berdiri sebagai bentuk persaingan bangsa Eropa yang hendak menguras kekayaan alam bangsa Timur. Ketika Inggris mendirikan perusahaan konglomerat East India Company (EIC) pada 1600 atas perintah Ratu Elizabeth I. Demikian pula Spanyol dan Portugis serta bangsa Eropa lainnya. Belanda juga tak mau kalah bersaing. Apalagi saat itu Belanda di bawah Pangerah Hendriks sedang berjuang melepaskan jajahan negeri dari Spanyol untuk mengukuhkan Dinasti Oranye Nassau sekarang.
Untuk memperjuangkan hal itu, atas usul Jan Huygen van Linschoten kepada Pangeran Hendriks, agar dibentuk BUMN untuk merebut dunia Timur. Pangeran Hendriks setuju dan melalui Staten Generaal dibentuk kartel (kongsi dagang) dari pengusaha 6 provinsi yang ada di Belanda. Modal diperoleh dengan menjual saham (listing) di pasar modal Amsterdam yang saat itu memang kota bisnis modern. Terbentuklah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) sebuah konglomerat yang sahamnya sebagian besar dimiliki pengusaha Amsterdam dan dikelola oleh 17 Direktur (Heeren Seventien). Lima tahun berdiri VOC memiliki 65 kapal.
Melalui penunjuk jalan bernama Ismail bangsa Arab dari Malaysia di mana Kota Malaka saat itu sudah dikuasai Portugis tahun1511 pimpinan Alfonso Alburquerqe, pelaut Belanda masuk ke Maluku yang saat itu sudah dimasuki Inggris, Portugis dan Spanyol. Di Maluku mereka berebut cengkeh, pala, fuli dan lada serta rempah lainnya. Jauh sebelumnya kebutuhan rempah dan sutra Eropa dipasok oleh pedagang Arab, India, Persia dan China.
Kebangkitan VOC di Indonesia dimulai ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC ke empat dalam usia 32 tahun. Pieterszoon Coen di masa remajanya juru tulis perdagangan di ekspedisi ke Maluku sebelumnya. Ia keturunan Yahudi dengan semangat Calvinis yang besar dan ambisius berhasil menaklukkan Kerajaan Jayakarta dan Banten serta mengalahkan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan membangun Benteng Batavia yang kemudian berkembang menjadi Kota Jakarta sekarang.
Di sini terlihat posisi petani kita sudah benar-benar terpuruk, menjadi kuli di tanah sendiri. Sementara kerajaan-kerajaan di Nusantara tak berdaya menghadapi kapitalisme Eropa yang dimenangkan VOC melalui politik pecah belah dan kekuatan senjata. Raja-raja diiming-imingi kemewahan dan digertak dengan senjata, sementara hasil bumi diangkut untuk memakmurkan Negeri Belanda melalui BUMN VOC.
(Bersambung)
(Bagian Pertama)
Nasib petani Indonesia tak putus dirundung malang. Mereka dibutuhkan saat pemilihan umum, tapi ketika terpilih, mereka kembali dilupakan. Demikian seterusnya, entah sampai kapan.
Saat ini, calon presiden dan calon wakil presiden gembar-gembor dengan janji-janji ekonomi kerakyatan. Dan semua bicara tentang petani dan nelayan yang menghuni lebih dari 60 persen penduduk.
Tapi sadarkah para pemimpin atau calon pemimpin bangsa ini, sudah lebih dari 408 tahun petani kita ini habis-habisan diperas kapitalis. Terhitung sejak berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Negeri Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602. Sampai kini pun petani masih tetap dipermainkan dan diperas pedagang dan konglomerat yang notabene kapitalis. Tak heran petani kita tetap bodoh, miskin dan menjadi objek politik dan kekuasaan. Sejarah keji penjajahan kembali terulang!
Kalau mau membela petani, para calon pemimpin bangsa harus benar-benar tahu sejarah petani itu sendiri, sebagai pelajaran besar untuk memperbaiki mereka yang menjadi tulang punggung RI. Kalau hanya cuap-cuap dengan PRAGMATISME YANG DIBUNGKUS DENGAN MATERIALISME SESAAT, jangan harap nasib sebagian besar bangsa ini akan terperbaiki. Semuanya akan kembali berputar pada pola pragmatisme globalisasi pasar bebas dan kapitalisme model baru yang sekarang kerap disebut NEOLIBERALISME. Nasib petani tetap berada dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan. Indonesia akan tetap menjadi pasar konsumsi dan objek manipulasi globalisasi. Sejarah telah mencatat hal itu.
VOC berdiri sebagai bentuk persaingan bangsa Eropa yang hendak menguras kekayaan alam bangsa Timur. Ketika Inggris mendirikan perusahaan konglomerat East India Company (EIC) pada 1600 atas perintah Ratu Elizabeth I. Demikian pula Spanyol dan Portugis serta bangsa Eropa lainnya. Belanda juga tak mau kalah bersaing. Apalagi saat itu Belanda di bawah Pangerah Hendriks sedang berjuang melepaskan jajahan negeri dari Spanyol untuk mengukuhkan Dinasti Oranye Nassau sekarang.
Untuk memperjuangkan hal itu, atas usul Jan Huygen van Linschoten kepada Pangeran Hendriks, agar dibentuk BUMN untuk merebut dunia Timur. Pangeran Hendriks setuju dan melalui Staten Generaal dibentuk kartel (kongsi dagang) dari pengusaha 6 provinsi yang ada di Belanda. Modal diperoleh dengan menjual saham (listing) di pasar modal Amsterdam yang saat itu memang kota bisnis modern. Terbentuklah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) sebuah konglomerat yang sahamnya sebagian besar dimiliki pengusaha Amsterdam dan dikelola oleh 17 Direktur (Heeren Seventien). Lima tahun berdiri VOC memiliki 65 kapal.
Melalui penunjuk jalan bernama Ismail bangsa Arab dari Malaysia di mana Kota Malaka saat itu sudah dikuasai Portugis tahun1511 pimpinan Alfonso Alburquerqe, pelaut Belanda masuk ke Maluku yang saat itu sudah dimasuki Inggris, Portugis dan Spanyol. Di Maluku mereka berebut cengkeh, pala, fuli dan lada serta rempah lainnya. Jauh sebelumnya kebutuhan rempah dan sutra Eropa dipasok oleh pedagang Arab, India, Persia dan China.
Kebangkitan VOC di Indonesia dimulai ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC ke empat dalam usia 32 tahun. Pieterszoon Coen di masa remajanya juru tulis perdagangan di ekspedisi ke Maluku sebelumnya. Ia keturunan Yahudi dengan semangat Calvinis yang besar dan ambisius berhasil menaklukkan Kerajaan Jayakarta dan Banten serta mengalahkan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan membangun Benteng Batavia yang kemudian berkembang menjadi Kota Jakarta sekarang.
Di sini terlihat posisi petani kita sudah benar-benar terpuruk, menjadi kuli di tanah sendiri. Sementara kerajaan-kerajaan di Nusantara tak berdaya menghadapi kapitalisme Eropa yang dimenangkan VOC melalui politik pecah belah dan kekuatan senjata. Raja-raja diiming-imingi kemewahan dan digertak dengan senjata, sementara hasil bumi diangkut untuk memakmurkan Negeri Belanda melalui BUMN VOC.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar